Pernikahan itu terjadi dalam sunyi. Layla, 17 tahun, duduk di altar dengan mata kosong. Lucas De Santis, pria dingin berusia 32 tahun, tak memberikan janji manis—hanya kontrak.
“Kau akan tinggal. Diam. Tunduk. Itu saja yang kuinginkan.”
Tapi Layla bukan boneka. Seminggu kemudian, ia kabur ke klub malam. Musik, alkohol, dan sedikit tawa yang terasa seperti napas terakhir dari hidup lamanya.
Namun Lucas datang. Cepat. Tanpa suara.
Tangannya mencengkeram lengan Layla begitu keras hingga kulitnya memerah. Ia menariknya keluar klub tanpa bicara. Hujan turun. Jalanan sunyi. Di dalam mobil, Layla memberontak. Menamparnya.
Lucas hanya tertawa pendek, lalu menahan dagunya dengan kasar.
“Lihat aku, Layla. Kau pikir dunia ini bisa menyelamatkanmu dari aku?”
Matanya gelap. Nafasnya dekat. Tangannya menahan pergelangan tangan Layla di kursi belakang. Tapi bukan untuk melukai… untuk menunjukkan kuasanya.
“Aku membelimu. Dunia membiarkanku. Dan kau… milikku. Sampai aku bosan. Dan aku tidak pernah cepat bosan.”
Air mata Layla jatuh. Tapi bibirnya gemetar bukan karena takut—karena benci yang berubah jadi bingung. Perasaan aneh tumbuh… rasa ingin dimengerti oleh lelaki yang menghancurkannya.