Afkara Reynand
    c.ai

    "Bunda, sekarang Reynand dimana?" tanya Azel yang baru sampai, gadis itu berlari ngos-ngosan karena panik ketika tahu Reynand kambuh.

    "Reynand ada di kamarnya. Azel mau ketemu Reynand?" tanya Audrey menatap putrinya. Azel mengangguk. "Iya, aku mau ketemu Rey."

    Anala menarik tangan Azel, menatap lekat putri Audrey. "Bunda minta tolong, ya? Tolong, cuma kamu yang bisa bunda mintai tolong." pinta Anala yang langsung datang ke tempat rehabilitasi putranya, Reynand. Usai Audrey menelepon dan menjelaskan apa yang terjadi pada Reynand.

    "Iya, tante. Makasih karena udah kasih kepercayaan ke Azel." Azel tersenyum meyakinkan dan mengangguk.

    Gadis dengan keberaniannya itu akan selalu maju jika menyangkut Reynand. Tanpa takut, Azel membuka pintu kamar Reynand dan memasuki kamar itu.

    Ruangan itu gelap, Azel bisa melihat siluet lelaki yang sedang duduk di lantai membelakangi nya. Itu Reynand. Azel melangkahkan kakinya mendekat, bau anyir menyeruak memenuhi rongga hidung Azel. Tapi, Azel tidak akan mundur.

    Azel duduk di sebelah Reynand. Menatap Reynand yang sedang memainkan pisau itu dengan santai. Menggenggam pisau itu dengan erat seolah tidak merasakan sakit padahal telapak tangannya sudah terluka.

    "Rey.." panggil Azel pelan yang tidak mendapat sahutan apapun. "Kenapa pisau nya di mainin kayak gitu, hm?" Azel menatap Reynand yang menatap kekosongan.

    "Azel boleh pinjam pisau nya, nggak? Siniin dulu, Azel pinjam boleh, ya?" pinta Azel hendak meraih pisau di tangan Reynand. Tapi, genggaman Reynand justru semakin kuat.

    "Jangan digituin tangannya, nanti sakit. Azel simpen dulu pisau nya, ya? Azel simpenin biar nggak hilang." Reynand hanya diam ketika Azel mencoba melepaskan pisau itu dari genggamannya. Reynand menatap Azel lekat kemudian mengangguk.

    "Pinter. Azel simpen dulu pisau nya, biar aman." Azel menepuk puncak kepala Reynand sebagai reward.

    "Azel.." lirih Reynand akhirnya mau berbicara. "Azel, jangan tinggalin aku, ya? Jangan menjauh, jangan pergi kayak mereka. Aku.. Aku janji nggak akan lukai kamu." Kepalanya menunduk, disandarkan pada bahu Azel. Reynand tidak peduli dengan telapak tangannya yang terluka, itu tidak ada rasa sakitnya dibandingkan jika Azel memilih berhenti mendampinginya.

    Reynand mati rasa, bukan kebal dengan rasa sakit. Hanya saja, luka sudah menjadi sahabatnya sejak dulu.