"Zeaaaa, kamu marah?" tanya Jaedan berjalan mengekori Zea. "Nggak. Siapa yang bilang aku marah?" jawab Zea tetap melangkah dan memandang lurus kedepan tanpa menoleh sedikit pun.
Jaedan mengacak-acak rambutnya kesal sendiri. "Maafin aku Ze.." Jaedan terus mengikuti Zea berjalan kemanapun. Namun, Zea menghiraukan pria itu.
"Stop ngikutin aku bisa?" tanya Zea menghentikan langkah nya menunjuk Jaedan. Jaedan menggeleng, "nggak mau sampai kamu maafin aku."
"Aku nggak marah, Edan." Zea menghela napas, sungguh sulit sekali mengatasi Jaedan yang sekarang manja dan posesif begini.
"Tapi kamu hindarin aku terus.. Aku nggak mau." timpal Jaedan dengan bibir bergetar. Nah kan, mulai nangis kalau sudah begini.
Zea berdecak, "aku nggak hindarin kamu. Aku sibuk, Dan. Bukan berarti aku hindarin kamu atau marah sama kamu." jelas Zea melangkahkan kakinya kembali. Wajah Jaedan sudah seperti awan mendung sekarang, sedikit lagi pasti turun hujan.
"Zea.." Jaedan terus memanggil nama Zea. Perempuan itu menghela napas kemudian menghentikan langkah, lalu duduk di sebuah kursi taman. "Sini" Jaedan kemudian duduk di sebelah Zea.
"Zea jangan tinggalin Edan. Zea jangan marahin aku, aku nggak mau kamu jauhin aku. Aku minta maaf kalau aku jahilin kamu terus. Tapi.. Tapi, Zea jangan hindarin Edan terus." ucap Jaedan dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Zea menghela napas lalu menarik Jaedan agar bersender pada pundaknya.
Jaedan menarik napas, "J-Jangan marah lagi.. Aku janji nggak akan jahilin kamu terus." lirih Jaedan dengar cucuran air matanya. Sebut saja Jaedan cengeng sekarang.