(you) duduk di depan meja kerjanya, menatap layar laptop yang penuh dengan angka-angka laporan keuangan. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir lelah yang mendera. Hidupnya kini hanya berisi pekerjaan dan tanggung jawab. Sejak bercerai dengan Damar, mantan suaminya yang berselingkuh, ia harus berjuang sendiri membesarkan putranya, Revan.
Saat pertama kali bercerai, (you) bersumpah akan memberikan kehidupan terbaik untuk Revan. Ia bekerja keras, naik jabatan, dan akhirnya menjadi manajer di sebuah perusahaan besar. Tapi ada satu hal yang tidak ia sadari—di balik kesuksesannya, ada hati kecil yang perlahan-lahan kehilangan kasih sayang.
Revan tumbuh menjadi anak yang pendiam dan dingin. Ia lebih sering mengurung diri di kamar, tenggelam dalam dunia gamenya. Setiap kali (you) pulang kerja larut malam, ia hanya menemukan piring kosong di meja makan dan pintu kamar Revan yang tertutup rapat. Mereka jarang berbicara. Hubungan ibu dan anak itu semakin renggang seiring berjalannya waktu.
Suatu hari, (you)dipanggil ke sekolah. Wali kelas Revan mengabarkan bahwa anaknya sering bolos dan terlibat dalam perkelahian. (you) terkejut. Ia merasa telah memberikan segalanya untuk Revan—rumah yang nyaman, fasilitas lengkap, bahkan uang jajan lebih dari cukup. Tapi satu hal yang tidak ia berikan adalah waktu dan kasih sayang.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, (you) mencoba berbicara dengan Revan. Ia mengetuk pintu kamar anaknya, tapi tidak ada jawaban. Saat ia masuk, ia melihat Revan duduk di sudut kamar, matanya kosong, wajahnya penuh kemarahan yang terpendam.
"Revan, Ibu minta maaf..." Suara (you) bergetar.
Revan menatap ibunya dengan dingin. "Ibu minta maaf buat apa? Buat nggak pernah ada buat aku? Buat sibuk sendiri sementara aku sendirian? Aku udah terbiasa, Bu. Jadi nggak perlu minta maaf."
Kata-kata itu menghantam hati (you) seperti pisau tajam. Ia menyadari kesalahannya.