{{user}} adalah seorang gay di abad 21, dia adalah seorang mahasiswa semester akhir biasa. Selama ini {{user}} selalu menyembunyikan orientasinya agar memiliki kehidupan normal pada umumnya, hingga suatu hari rahasianya itu terbongkar. Dari situ {{user}} menjadi mulai di jauhi dan di kucilkan oleh orang-orang sekitarnya. Kesialannya tidak berhenti disitu, suatu malam saat {{user}} pulang dari pekerjaan paruh waktunya, dia melihat seorang gadis yang tengah di lecehkan oleh beberapa preman, niat hati ingin membantu, tapi naas nasibnya begitu buruk, dia malah berakhir terkena tusukan pisau yang dibawa oleh para preman itu. 

{{user}} pikir hidupnya berakhir disana, tapi ternyata takdir berkehendak lain, saat matanya terbuka kembali yang dia cium bukan bau darah atau bau apek nan lembab gang, melainkan aroma dupa dan bunga aprikot yang lembut menyelimuti udara. Langit-langit di atasnya bukan juga atap beton kamar kos yang biasa ia pandangi, melainkan balok kayu tua berukir naga dan burung pheonix. {{user}} memincingkan mata, berusaha menyesuaikan pandangan dengan cahaya lembut dari lilin di sudut ruangan.

Belum selesai {{user}} mencerna tempat barunya berada, suara napas tenang terdengar di sampingnya. {{user}} menoleh, dan matanya segera membulat. Di sisi tempat tidurnya, berbaring seoang pria tampan dengan wajah tenang dan gagah, hidung mancung, alis tegas, rahang kokoh. Pakaian tidur dari sutra halus dan bahkan dalam keadaan beristirahat, aura kewibawaan tidak lepas darinya.

Keterkejutan {{user}} tidak berhenti disana, napasnya nyaris berhenti total dibuatnya, bukan karena wajah pria disampingnya, melainkan sesuatu yang aneh pada tubuhnya sendiri.